Perkembangan Bahasa Indonesia
Bab 1
A. Sumber Bahasa Indonesia
Apabila ingin membicarakan perkembangan bahasa Indonesia. Mau tidak mau kita
harus membicarakan bahasa Melayu sebagai sumber (akar) bahasa Indonesia yang kita
gunakan sekarang. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu,
yang sejak dahulu sudah dipakai sebagai bahasa perantara (lingua franca), bukan saja di
Kepulauan Nusantara melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah kapan sebenarnya bahasa Melayu
mulai digunakan sebagai alat komunikasi. Berbagai batu bertulis (prasasti) kuno yang
ditemukan, seperti (1) Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683, (2) Prasasti
Talang Tuo di Palembang, tahun 684, (3) Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun
686, dan (4) Prasasti Karang Brahin, Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi, tahun 688,
yang bertuliskan Pra-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno, memberi petunjuk
kepada kita bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai
sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya (Halim, 1979: 6-7). Prasasti-prasasti yang
juga tertulis di dalam bahasa Melayu Kuno terdapat di Jawa Tengah (Prasasti Gandasuli,
tahun 832) dan di Bogor (Prasasti Bogor, tahun 942). Kedua prasasti di Pulau Jawa itu
memperkuat pula dugaan kita bahwa bahasa Melayu Kuno pada waktu itu tidak saja
dipakai di Pulau Sumatra, tetapi juga dipakai di Pulau Jawa.
2 Bahasa Indonesia
Berdasarkan petunjuk-petunjuk lainnya, dapat kita kemukakan bahwa pada zaman
Sriwijaya bahasa Melayu berfungsi sebagai berikut:
1. Bahasa Melayu sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku-buku yang berisi
aturan-aturan hidup dan sastra;
2. Bahasa Melayu sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) antar suku di Indonesia;
3. Bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan, terutama di sepanjang pantai, baik
bagi suku yang ada di Indonesia maupun bagi pedagang-pedagang yang datang
dari luar Indonesia; dan
4. Bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan.
B. Peresmian Nama Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia dengan perlahan-lahan, tetapi pasti, berkembang, dan tumbuh terus.
Pada waktu akhir-akhir ini perkembangannya menjadi demikian pesat sehingga bahasa
ini telah menjelma menjadi bahasa modern yang kaya akan kosakata dan mantap dalam
struktur.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda kita mengikrarkan Sumpah Pemuda.
Naskah Putusan Kongres Pemuda Indonesia Tahun 1928 itu berisi tiga bulir kebulatan
tekad sebagai berikut:
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah
Indonesia.
Kedua : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Pernyataan yang pertama adalah pengakuan bahwa pulau-pulau yang bertebaran
dan lautan yang menghubungkan pulau-pulau yang merupakan wilayah Republik
Indonesia sekarang adalah satu kesatuan tumpah darah (tempat kelahiran) yang
disebut Tanah air Indonesia. Pernyataan yang kedua adalah bahwa manusia-manusia
yang menempati bumi Indonesia juga merupakan satu kesatuan yang disebut Bangsa
Indonesia. Pernyataan yang ketiga tidak merupakan pengakuan “berbahasa satu”,
tetapi merupakan pernyataan tekad kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa
Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. (Halim,
1983: 2-3).
Dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu, yang sudah
dipakai sejak pertengahan Abad VII itu, menjadi bahasa Indonesia.
Bab 1 Perkembangan Bahasa Indonesia 3
C. Mengapa Bahasa Melayu Diangkat Menjadi Bahasa
Indonesia
Mengapa bahasa Melayu yang dijadikan bahasa Nasional?. Ada empat faktor yang
menjadi penyebab bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu sebagai
berikut:
1. Bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan,
dan bahasa perdagangan.
2. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa ini
tidak dikenal tingkatan bahasa, seperti dalam bahasa Jawa (ngoko. Kromo) atau
perbedaan bahasa kasar dan halus, seperti dalam bahasa Sunda (kasar, lemes).
3. Suku Jawa, suku Sunda, dan suku-suku yang lain dengan sukarela menerima bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
4. Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan
dalam arti yang luas.
D. Peristiwa-peristiwa Penting yang Berkaitan dengan
Perkembangan Bahasa Melayu/Indonesia
Tahun-tahun penting yang mengandung arti sangat menentukan dalam sejarah
perkembangan bahasa Melayu/Indonesia dapat diperinci sebagai berikut:
1. Pada tahun 1901, disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch.A.Van Ophuijsen
dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Pada tahun 1908, pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan
yang diberi nama Commissie voor de Volksletuur (Taman Bacaan Rakyat), yang
kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka banyak
menerbitkan buku-buku Sastra terkenal, seperti Salah Asuhan dan Siti Nurbaya. Hal
tersebut membuktikan bahwa bahasa Indonesia sudah dipakai sebelum tahun 1928.
3. Tanggal 28 Oktober para pemuda pilihan telah memancangkan tonggak yang kukuh
untuk perjalanan bahasa Indonesia.
4. Pada tahun 1933, secara resmi berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang
menanamkan dirinya Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana
dan kawan-kawan.
5. Tanggal 25-28 Juni 1938, dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo.
6. Tanggal 18 Agustus 1945, ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang
salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara.
7. Pada tanggal 19 Maret 1947, diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan
Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
8. Pada tanggal 28 Oktober – 2 November 1954, dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia ke II di Medan.
4 Bahasa Indonesia
9. Pada tanggal 16 Agustus 1972, Presiden Republik Indonesia meresmikan
penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan melalui pidato
kenegaraan di depan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden
No. 57, tahun 1972.
10. Tanggal 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman
Umum Pembentukan istilah resmi berlaku di seluruh Indonesia.
11. Kongres Bahasa Indonesia ke IV diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28
Oktober – 2 November 1978.
12. Kongres Bahasa Indonesia ke IV diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 21-26
November 1983. Hal ini mengukuhkan keberadaan Bahasa Indonesia di bumi
Indonesia.
13. Pada tanggal 28 Oktober – 3 November 1988, diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia ke V di Jakarta. Pada kongres ini dihadiri oleh utusan dari Negara
sahabat, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Belanda, Jerman, dan
Australia. Kongres ini juga ditandai dengan dipersembahkannya karya besar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa Nusantara, yakni
berupa (1) Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan (2) Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia.
14. Kongres Bahasa Indonesia VI diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober –
2 November 1993. Kongres ini dihadiri oleh pakar Bahasa Indonesia dari Indonesia
sendiri dan utusan-utusan dari negara-negara sahabat. Kongres mengusulkan agar
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi
Lembaga Bahasa Indonesia, serta disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
15. Pada tanggal 26-30 Oktober 1998, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia ke
VII di Jakarta. Kongres ini mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
16. Kemudian pada tanggal 14-17 Oktober 2003 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia ke VIII di Jakarta.
E. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
1. Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting karena bahasa Indonesia
bahasa Nasional, kedudukannya di atas bahasa-bahasa daerah. Selain itu, dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pasal khusus (Bab XV, Pasal 36) mengenai
kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa bahasa Negara adalah bahasa
Indonesia. Dengan kata lain, ada dua macam kedudukan bahasa Indonesia. Pertama,
bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasioanl sesuai dengan Sumpah Pemuda
1928; dan kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa Negara sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
Bab 1 Perkembangan Bahasa Indonesia 5
2. Fungsi Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1)
lambang kebanggan kebangsaan, (2) lambang identitas nasioan, (3) alat perhubungan
antarwarga dan antarbudaya, dan (4) alat mempersatukan suku-suku bangsa dengan latar
belakang budaya dan bahasa yang berbeda ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, (3) alat
perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di samping itu, sekarang ini fungsi bahasa Indonesia telah pula bertambah besar.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai media massa. Media massa cetak dan elektronik,
baik visual, audio, maupun audio visual harus memakai bahasa Indonesia. Media massa
menjadi tumpuan kita dalam menyebarluaskan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
SKEMA PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA
16 Agustus 1972
Diresmikan penggunaan
ejaan bahasa Indonesia
yang disempurnakan
Bahasa Indonesia
digunakan sebagai
bahasa Nasional
Bahasa Indonesia
digunakan sebagai
bahasa Negara
18 Agustus 1945
Bahasa Indonesia masuk dalam salah
satu pasal dalam
Undang-Undang Dasar 1945
yaitu pasal 36
Sumpah Pemuda 1928
Hari kelahiran bahasa Indonesia
Penemuan Prasasti
di berbagai daerah di Nusantara
tentang
penggunaan bahasa Melayu Kuno
6 Bahasa Indonesia
Ragam Bahasa
Bab 2
A. Penting Atau Tidaknya Bahasa Indonesia
Sebuah bahasa penting atau tidak penting dapat di lihat dari tiga kriteria, yaitu jumlah
penutur, luas daerah penyebarannya, dan terpakainya bahasa itu dalam sarana ilmu,
susastra, dan budaya.
1. Dipandang dari Jumlah Penutur
Ada dua bahasa Indonesia, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia
lahir sebagai bahasa kedua bagi sebagian besar warga bangsa Indonesia. Yang pertama
kali muncul atas diri seseorang adalah bahasa daerah (bahasa ibu). Bahasa Indonesia
baru di kenal anak-anak sekolah setelah mereka sampai pada usia sekolah (taman
kanak-kanak).
Berdasarkan keterangan di atas, penutur bahasa Indonesia yang mengggunakan
bahasa Indonesia sebagai “bahasa ibu (utama)” tidak besar jumlahnya. Mereka hanya
terbatas pada orang-orang yang lahir dari orang tua yang mempunyai latar belakang
bahasa daerah yang berbeda, sebagian orang yang lahir di kota-kota besar, dan orang yang
mempunyai latar belakang bahasa melayu. Dengan demikian, kalau kita memandang
bahasa Indonesia sebagai “bahasa ibu”, jumlah penutur yang di maksud adalah jumlah
penutur yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai “bahasa kedua”. Data ini akan
8 Bahasa Indonesia
membuktikan bahwa penutur bahasa Indonesia adalah 240 juta orang (2008) di tambah
dengan penutur-penutur yang berada diluar Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa
bahasa Indonesia amat penting kedudukkannya di kalangan masyarakat.
2. Dipandang dari Luas Penyebarannya
Penyebaran suatu bahasa tentu ada hubungannya dengan penutur bahasa itu. Oleh
karena itu, tersebarnya suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari segi penutur.
Penutur bahasa Indonesia yang berjumlah 240 juta itu tersebar dari Sabang sampai
Merauke. Jumlah penutur ini juga masih ditambah dengan penutur yang ada di negara
tetangga kita yaitu Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Serta di Negara-negara
lain seperti di Australia, Belanda, Jepang, Rusia. Luas penyebaran ini dapat dinilai pula
pada beberapa universitas di luar negeri yang membuka jurusan bahasa Indonesia sebagai
salah satu jurusan. Luas penyebaran ini juga membuktikan bahwa bahasa Indonesia
amat penting kedudukannya di antara bahasa-bahasa dunia.
3. Dipandang dari dipakainya sebagai Sarana Ilmu, Budaya, dan Susastra
Sejalan dengan jumlah penutur dan luasnya daerah penyebarannya, pemakaian suatu
bahasa sebagai sarana ilmu, budaya, dan susastra dapat juga menjadi ukuran penting
atau tidaknya bahasa itu. Kalau kita memandang bahasa daerah seperti, bahasa Minang
di Sumatera Barat, kita dapat menelusuri seberapa jauh bahasa itu dapat dipakai sebagai
sarana susastra, budaya, dan ilmu.
Tentang susastra, bahasa Minang digunakan dalam karya sastra. Susastra Minang
telah memasyarakat ke seluruh pelosok daerah Sumatera Barat. Dengan demikian bahasa
Minang telah dipakai sebagai sarana dalam susastra.
Tentang budaya, bahasa Minang telah dipakai pula walaupun hanya dalam
berkomunikasi, bertutur adat, bernyanyi, berpantun, dan sebagainya.
Tentang ilmu pengetahuan, bahasa Minang belum mampu memecahkannya. Jika
hendak menulis surat, orang Minang memakai bahasa Indonesia, bukan bahasa Minang.
Hal ini membuktikan bahwa bahasa Minang belum mampu menjalankan fungsinya
sebagai sarana ilmu.
Ketiga hal diatas, sarana ilmu pengetahuan, budaya, dan susastra, telah dijalankan
oleh bahasa Indonesia dengan sangat sempurna dan baik. Hal ini membuktikan bahwa
bahasa Indonesia adalah bahasa yang penting.
B. Ragam Lisan dan Ragam Tulis
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam-macam pula
latar belakang penuturnya, akan melahirkan sejumlah ragam bahasa, yang sesuai dengan
Bab 2 Ragam Bahasa 9
fungsi, kedudukan, dan lingkungan yang berbeda-beda. Ragam bahasa ini terdiri dari
ragam lisan dan ragam tulis.
Tidak dapat kita pungkiri, bahasa Indonesia ragam lisan sangat berbeda dengan bahasa
Indonesia ragam tulis. Ada pendapat yang mengatakan bahwa, ragam tulis adalah pengalihan
ragam lisan ke dalam ragam tulis (huruf). Pendapat ini tidak dapat di benarkan seratus persen
karena tidak semua ragam lisan dapat dituliskan; tidak semua ragam tulis bisa dilisankan.
Kaidah yang berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku bagi ragam tulis.
Kedua ragam bahasa itu berbeda. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
1. Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman berbicara yang berada di
depan pembicara, sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan adanya teman bicara
berada di depan.
2. Di dalam ragam lisan unsur-unsur fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan
objek tidak selalu dinyatakan. Unsur-unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan,
karena bahasa yang digunakan itu dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan,
anggukan, atau intonasi.
Contoh:
Orang yang berbelanja di pasar.
“Bu, berapa cabenya?”
“Lima belas.”
“Bisa kurang?”
“Sepuluh saja, Nak.”
Ragam tulis perlu lebih terang dan lebih lengkap daripada ragam lisan. Fungsifungsi gramatikal harus lebih jelas karena ragam tulis tidak mengharuskan orang
kedua berada di depan pembicara. Contoh ragam tulis ialah tulisan-tulisan dalam
buku, majalah, dan surat kabar.
3. Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu. Apa yang
dibicarakan secara lisan di dalam ruang kuliah, hanya akan berarti dan berlaku
untuk waktu itu saja. Apa yang diperbincangkan dalam suatu ruang diskusi susastra
belum tentu dapat dimengerti oleh orang yang berada di luar ruang itu. Sebaliknya
ragam tulis tidak terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu. Suatu tulisan dalam
sebuah buku yang ditulis oleh penulis di Indonesia dapat dipahami oleh orang yang
berada di Amerika atau Inggris.
4. Ragam lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang pendeknya suara,
sedangkan ragam tulis dilengkapi oleh tanda baca, huruf besar, dan huruf miring.
C. Ragam Baku dan Ragam Tidak Baku
Pada dasarnya, ragam tulis dan ragam lisan terdiri pula atas ragam baku dan ragam
tidak baku.
10 Bahasa Indonesia
Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar
masyarakat penggunaannya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma
bahasa dalam penggunannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan
dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku.
Ragam baku itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Mantap
Mantap artinya sesuai dengan kaidah bahasa. Kalau kata rasa dibubuhi awalan pe-, akan
berbentuk kata perasa. Kata raba dibubuhi pe-, akan terbentuk kata peraba. Oleh karena
itu menurut kemantapan bahasa, kata rajin dibubuhi pe-, akan menjadi perajin, bukan
pengrajin. Kalau kita berpegang pada sifat mantap, kata pengrajin tidak dapat kita terima.
Bentuk-bentuk lepas tangan, lepas pantai, dan lepas landas merupakan contoh kemantapan
kaidah bahasa baku.
2. Dinamis
Dinamis artinya tidak statis, tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki adanya bentuk
mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu orang yang berlangganan dan
toko tempat langganan. Dalam hal ini, tokonya disebut langganan dan orang yang
berlangganan itu disebut pelanggan.
3. Cendikia
Ragam baku bersifat cendekia karena ragam baku dipakai pada tempat-tempat resmi.
Pewujud ragam baku ini adalah orang-orang yang terpelajar. Ragam baku dapat dengan
tepat memberikan gambaran apa yang ada dalam otak pembicara atau penulis.
Contoh kalimat yang tidak cendekia adalah sebagai berikut:
Rumah sang jutawan yang aneh akan dijual.
Makna rumah sang jutawan yang aneh mengandung konsep ganda, yaitu rumahnya yang
aneh atau sang jutawan aneh. Dengan demikian, kalimat itu tidak memberikan informasi
yang jelas. Agar menjadi cendekia kalimat tersebut harus diperbaiki sebagai berikut.
- Rumah aneh milik sang jutawan akan dijual.
- Rumah sang jutawan aneh akan dijual.
4. Seragam
Ragam baku bersifat seragam. Pada hakikatnya, proses pembakuan bahasa adalah proses
penyeragamaan bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah pencarian titiktitik keseragaman. Pelayan kapal terbang dianjurkan untuk memakai istilah pramugara
dan pramugari. Andaikata ada orang mengusulkan bahwa pelayan kapal terbang disebut
pembantu udara dan penyerapan itu seragam, kata itu menjadi ragam baku. Akan
Bab 2 Ragam Bahasa 11
tetapi kata tersebut sampai saat ini tidak disepakati untuk dipakai. Yang timbul dalam
masyarakat ialah pramugara dan pramugari.
D. Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan
Dalam kehidupan berbahasa, kita sudah mengenal ragam lisan dan ragam tulis, ragam
baku dan ragam tidak baku. Oleh sebab itu, muncul ragam baku tulis dan ragam baku
lisan. Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku
pelajaran atau buku-buku lainnya. Pemerintah sekarang berusaha menerbitkan buku-buku
pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Pemerintah sekarang berusaha menerbitkan
buku-buku panduannya yang menyangkut masalah ejaan bahasa Indonesia, yang
tercantum dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Demikian pula, pengadaan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, pengadaan Kamus
Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, merupakan pula usaha
kearah penyeragaman itu.
Bagaimana dengan masalah ragam baku lisan? Ukuran dan nilai ragam baku lisan
ini tergantung pada besar atau kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapan.
Seseorang dapat dikatakan berbahasa lisan yang baku kalau dalam pembicaraannya
tidak terlalu menonjol pengaruh logat atau dialek daerahnya.
E. Ragam Sosial dan Ragam Fungsional
Baik ragam lisan maupun ragam tulis bahasa Indonesia ditandai pula oleh adanya
ragam sosial, yaitu ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan
atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat.
Ragam bahasa yang digunakan dalam keluarga atau persahabatan dua orang yang akrab
dapat merupakan ragam sosial tersendiri. Selain itu ragam sosial, kadang-kadang bisa
mewakili tinggi rendahnya status sosial itu sendiri, sedangkan ragam baku bahasa daerah
atau ragam sosial yang lain merupakan ragam sosial dengan nilai kemasyarakatan yang
rendah.
Ragam fungsional yang kadang-kadang disebut juga ragam profesional yaitu ragam
bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu
lainnya. Dalam kenyataannya, ragam fungsional menjelma sebagai bahasa Negara
dan bahasa teknis keprofesian, seperti bahasa dalam lingkungan keilmuan/teknologi
(seperti istilah-istilah dalam ilmu komputer), kedokteran (seperti istilah-istilah dalam
ilmu kedokteran), dan keagamaan.
12 Bahasa Indonesia
F. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Setelah masalah bahasa baku dan nonbaku dibicarakan, perlu pula bahasa yang baik dan
yang benar dibicarakan. Penentuan atau kriteria bahasa Indonesia yang baik dan benar
itu tidak jauh berbeda dari apa yang kita katakan sebagai bahasa baku. Kebakuan suatu
kata sudah menunjukkan masalah “benar” suatu kata itu. Walaupun demikian, masalah
“baik” tentu tidak sampai pada sifat kebakuan suatu kalimat, tetapi sifat efektifnya suatu
kalimat.
Pengertian benar pada suatu kata atau suatu kalimat adalah pandangan yang
diarahkan dari segi kaidah bahasa. Sebuah kalimat atau sebuah pembentukan kata
dianggap benar apabila bentuk itu mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Seperti contoh
kalimat di bawah ini:
Kuda makan rumput
Kalimat ini benar memenuhi kaidah sebuah kalimat secara struktur, yaitu ada subjek
(kuda) ada predikat (makan), dan ada objek (rumput). Kalimat ini juga memenuhi kaidah
sebuah kalimat dari segi makna. Tetapi kalau contoh berikut:
Rumput makan kuda
Kalimat ini secara struktur juga benar, yaitu ada subjek (rumput), ada predikat (makan),
dan ada objek (kuda). Akan tetapi dari segi makna, kalimat ini tidak benar karena tidak
mendukung makna yang sebenarnya.
Sebuah bentuk kata dikatakan benar kalau memperlihatkan proses pembentukannya
yang benar menurut kaidah yang berlaku, contoh aktifitas, tidak benar penulisannya,
karena pemunculan kata tersebut tidak mengikuti kaidah penyerapan yang telah
ditentukan. Pembentukan penyerapan yang benar adalah aktivitas karena diserap dari
kata activity.
Sebagai kesimpulan, yang dimaksud dengan bahasa yang benar adalah bahasa yang
menerapkan kaidah dengan konsisten, sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang
baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi
pemakainya.
Kata
Bab 3
A. Definisi Kata
Kata adalah satuan bentuk terkecil (dari kalimat) yang dapat berdiri sendiri dan
mempunyai makna.*) Kata-kata yang terbentuk dari gabungan huruf atau gabungan
morfem; atau gabungan huruf dengan morfem, baru kita akui sebagai kata bila bentuk
itu mempunyai makna. Perhatikan kata sepeda, ambil, dingin, kuliah. Keempat kata yang
diambil secara acak itu kita akui sebagai kata karena setiap kata mempunyai makna.
Kita akan meragukan, bahkan memastikan bahwa adepes, libma, ningid, haliuk bukan kata
bahasa Indonesia karena tidak mempunyai makna.
Dari segi bentuknya kata dapat dibedakan atas dua macam, yaitu (1) kata yang
bermorfem tunggal, dan (2) kata yang bermorfem banyak. Kata yang bermorfem tunggal
disebut juga kata dasar atau kata yang tidak berimbuhan. Kata dasar pada umumnya
berpotensi untuk dikembangkan menjadi kata turunan atau kata imbuhan. Perhatikan
perubahan kata dasar menjadi kata turunan dalam tabel di bawah ini.
14 Bahasa Indonesia
Tabel 3.1
Perubahan Kata Dasar Menjadi Kata Turunan yang Mengandung Berbagai Arti
Kata Dasar Pelaku Proses Hal/Tempat Perbuatan Hasil
asuh pengasuh pengasuhan mengasuh asuhan
baca pembaca pembacaan membaca bacaan
bangun pembangun pembangunan membangun bangunan
buat pembuat pembuatan perbuatan membuat buatan
cetak pencetak pencetakan percetakan mencetak cetakan
edar pengedar pengedaran peredaran mengedar edaran
potong pemotong pemotongan perpotongan memotong potongan
sapu penyapu penyapuan persapuan menyapu sapuan
tulis penulis penulisan menulis tulisan
ukir pengukir pengukiran mengukir ukiran
B. Pembagian Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia
1. Verba
Secara sintaksis, sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari
perilakunya dalam satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata dapat dikatakan berkategori
verba hanya dari perilakunya dalam frase, yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu
didampingi pertikel tidak dalam konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya
satuan itu dengan partikel di, ke, dari, atau dengan partikel seperti sangat, lebih, atau agak.
a. Dilihat dari bentuknya, verba dapat dibedakan menjadi:
1) Verba dasar bebas yaitu verba yang berupa morfem dasar bebas. Contoh: duduk,
makan, mandi, minum, pergi, pulang, tidur.
2) Verba turunan yaitu verba yang telah mengalami afiksasi, reduplikasi, gabungan
proses atau berupa paduan leksem. Sebagai bentuk turunan dapat kita jumpai:
a) Verba berafiks. Contoh: ajari, bernyanyi, bertaburan, bersentuhan, ditulis,
jahitkan, kematian, melahirkan, menari, menguliti, menjalani, kehilangan,
berbuat, terpikirkan.
b) Verba bereduplikasi. Contoh: bangun-bangun, ingat-ingat, marah-marah,
makan-makan, pulang-pulang, senyum-senyum.
c) Verba berproses gabung. Contoh: bernyanyi-nyanyi, tersenyum-senyum.
d) Verba majemuk. Contoh: cuci mata, campur tangan, unjuk gigi.
b. Dilihat dari banyaknya nomina yang mendampingi, verba dapat dibedakan menjadi:
1) Verba Intransitif yaitu verba yang menghindarkan obyek. Klausa yang memakai
verba ini hanya mempunyai satu nomina. Di antara verba intransitive, terdapat
sekelompok verba yang berpadu dengan nomina, misalnya alih bahasa, campur
Bab 3 Kata 15
tangan, cuci mata, bersepeda, bersepatu. Di samping itu, juga terdapat sekelompok
verba yang tidak bisa bergabung dengan prefiks me-, ber- tanpa mengubah
makna dasarnya. Dalam tata bahasa tradisional verba semacam itu disebut
kata kerja aus.
Contoh:
ada, balik (=kembali), bangkit, bangun, benci akan, cinta akan, datang, diam
(= tidak bergerak), duduk, gugur, habis, hendak, hidup, hilang, hinggap, ingat,
ingin, jadi (= berhasil), jaga (= bangun), jatuh, kambuh, karam, kasih, keluar,
kembali, kanal, lalu, lewat, lenyap, lari, lulus, lunas, lupa, luput, maju, makan,
mandi, mangkir, masuk, mau, mati, mesti, minum, mogok, mungkin, musnah,
naik, Nampak, padam, pailit, pasang, patah, percaya, pergi, pulang, pingsan,
pulih, rebah, roboh, rugi, runtuh, sama, sampai, sayang, selesai, sepakat,
singgah, siuman, surut, tahu, tampil, tanggal, tenggelam, terbang, terjun, tiba,
tiada, tidur, timbul, tinggal, tumbuh, tumpah, tunduk, turun, turut (=ikut),
undur, usai.
2) Verba Transitif yaitu verba yang bisa mempunyai atau harus mendampingi
obyek. Berdasarkan banyaknya obyek, terdapat:
a) Verba monotransitif, yaitu verba yang mempunyai satu obyek, contoh:
Saya (subyek) menulis surat (obyek).
b) Verba bitransitif, yaitu verba yang mempunyai dua obyek, contoh: Ibu
(subyek) memberi adik (obyek tak langsung) kue (obyek langsung).
c) Verba ditransitif, yaitu verba transitif yang obyeknya tidak muncul,
contoh: Adik sedang makan.
c. Dilihat dari hubungan verba dengan nomina, verba dapat dibedakan menjadi:
1) Verba aktif yaitu verba yang subyeknya berperan sebagai pelaku. Verba
demikian biasanya berprefiks me-, ber-,atau tanpa prefiks.
Contoh:
Ia mengapur dinding.
Saya makan nasi.
Rakyat mencintai pemimpinnya yang jujur.
2) Verba pasif yaitu verba yang subyeknya berperan sebagai penderita, sasaran,
atau hasil. Verba demikian biasanya diawali dengan prefiks di- atau ter-.
Apabila ditandai dengan prefiks ter- yang berarti ‘dapat di’ atau ‘tidak dengan
sengaja’ maka verba itu bermakna perfektif.
Contoh:
Baju dipakai ayah.
Buku itu terinjak olehku.
Meja itu terangkat oleh adik.
16 Bahasa Indonesia
3) Verba anti-aktif (ergatif) yaitu verba pasif yang tidak dapat diubah menjadi
verba aktif, dan subyeknya merupakan penanggap (yang merasakan, menderita,
mengalami) (Ing. Experiencer).
Contoh:
Ibu kecopetan di bis.
Kakinya terantuk batu.
Dadanya tembus oleh tombak.
Ain kena pukul.
Saya kena marah tadi.
4) Verba anti-pasif yaitu verba aktif yang tidak dapat diubah menjadi pasif.
Contoh:
Ia haus akan kasih sayang.
Pemuda ini benci terhadap perempuan.
Pak tani bertanam singkong.
2. Ajektiva
Ajektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung
dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih,
sangat, agak, (4) mempunyai ciri-ciri morfologis, (5) dibentuk menjadi nomina dengan
konfiks ke-an. Dari bentuknya, ajektiva dapat dibedakan menjadi:
1) Ajektiva Dasar
(a) Yang dapat diuji dengan kata sangat, lebih, misalnya: agung, bahagia, canggung,
disiplin, dll.
(b) Yang tidak dapat diuji dengan kata sangat, lebih, misalnya: gaib, genap, langsung,
musnah, dll.
2) Ajektiva Turunan
(a) Ajektiva turunan berafiks, misalnya terhormat.
(b) Ajektiva turunan berduplikasi, misalnya elok-elok, gagah-gagah, muda-muda,
ringan-ringan.
(c) Ajektiva berafiks ke -an. Misalnya kesakitan, kemalu-maluan, kesepian, kebelandabelandaan.
(d) Ajektiva berafiks –i, misalnya abadi (abad), alami (alam), duniawi (dunia), hewani
(hewan).
(e) Ajektiva yang berasal dari pelbagi kelas dengan proses-proses: Deverbalisasi,
denominalisasi, deadverbialisasi, denumeralia, de-interjeksi.
3) Ajektiva Majemuk
(a) Subordinatif. Contoh: juling bahasa, kepala dingin, panjang tangan, lupa daratan, dll.
(b) Koordinatif. Contoh: aman sentosa, suka duka, lemah gemulai, tua muda, riang
gembira, dll.
Bab 3 Kata 17
3. Nomina
Nomina atau kata benda adalah kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang,
tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Kata benda dapat dibagi menjadi
dua:
(1) Kata benda konkret. Untuk benda yang dapat dikenal dengan panca indera
(misalnya buku).
(2) Kata benda abstrak. Untuk benda yang menyatakan hal yang hanya dapat dikenal
dengan pikiran (misalnya cinta).
Selain itu, jenis kata juga dapat dikelompokkan menjadi kata benda khusus atau
nama diri (proper noun) dan kata benda umum atau nama jenis (common noun). Kata benda
nama diri adalah kata benda yang mewakili suatu entitas tertentu (misalnya, Jakarta atau
Ali), sedangkan kata benda umum adalah sebaliknya, menjelaskan suatu kelas entitas
(misalnya, kota atau orang).
(a) Ciri Umum Nomina
Nomina yang merupakan kelas leksikal gramatikal mempunyai ciri sebagai berikut:
• Makna kebendaan
• Daya rangkai sintaksis
• Adanya sarana-sarana khusus untuk menyatakan arti ketunggalan dan arti
kejamakan.
(b) Cara Pembentukan Kata
Dari segi strukturnya, nomina dapat dibedakan dari morfologi katanya yang dibagi
menjadi nomina akar, nomina turunan berimbuhan, dan nomina majemuk.
• Nomina akar terdiri dari satu morfem akar, yang bersuku satu, dua, atau
banyak.
• Nomina turunan berimbuhan yang terdiri dari morfem akar dan afiks derivative.
Contohnya nomina orang melakukan pekerjaan atau tindakan dan alat untuk
melakukan pekerjaan, morfem dapat dibentuk sebagai berikut: pe- + kerja =
pekerja (pekerjaan), pem- + pukul + pemukul (melakukan pekerjaan).
• Nomina pada tingkat paling atas adalah nomina majemuk bermakna benda
dan nomina bermaknakan benda, sebagai contoh ibu + kota = ibu kota, dan
tukang + jahit = tukang jahit.
4. Pronomina
Pronomina atau kata ganti adalah jenis kata yang menggantikan nomina atau frasa
nomina. Contohnya adalah saya, kapan, -nya, ini. Cara pembagian kata ganti bermacammacam tergantung rujukan yang digunakan. Berikut ini adalah salah satu cara
penggolongan pronominal.
18 Bahasa Indonesia
(a) Kata ganti orang (pronominal persona). Terbagi tiga dan dapat bersifat tunggal
maupun jamak, baik kata maupun frasa pronominal. Hanya dapat digunakan untuk
mengganti nomina orang, nama orang, atau hal-hal lain yang dipersonifikasikan.
Pengecualian adalah “ia”, yang dalam kalangan terbatas sering digunakan untuk
menggantikan nomina tak bernyawa.
(b) Pronominal perlu dibedakan dari sapaan, seperti Saudara, Bapak, Ibu, Tuan, Nyonya,
Yang Mulia, dsb. Sebagian dari mereka termasuk nomina.
(c) Kata ganti pemilik. Misalnya –ku, -mu, -nya. Untuk “-nya” dapat digunakan untuk
kata ganti selain nomina orang.
(d) Kata ganti penanya; berfungsi menanyakan benda, waktu, tempat, keadaan, atau
jumlah, dsb. Misalnya apa, kapan, mengapa, siapa, bagaimana, berapa, di mana, ke
mana.
(e) Kata ganti petunjuk. Misalnya ini, itu.
(f) Kata ganti penghubung. Misalnya yang.
(g) Kata ganti tak tentu. Misalnya barang siapa.
Pronomina yang menggantikan nomina yang referennya jelas disebut sebagai
pronominal taktif (misalnya pronominal persona), sedangkan yang tidak menunjuk
pada orang atau benda tertentu disebut sebagai pronominal tak taktif. Dalam ragam
non-standar, jumlah pronominal lebih banyak dari yang tersebut di atas, bergantung dari
daerah pemakaiannya.
5. Numerelia
Kata bilangan adalah kata yang menyatakan jumlah benda atau jumlah kumpulan atau
urutan tempat dari nama-nama benda. Menurut sifatnya kata bilangan dapat dibagi atas:
(1) Kata bilangan utama (numeralia cardinalia): satu, dua, tiga, empat, seratus, seribu,
dan sebagainya.
(2) Kata bilangan tingkat (numeralia ordinalia): pertama, kedua, ketiga, kelima,
kesepuluh, keseratus, dan sebagainya.
(3) Kata bilangan tak tentu: beberapa, segala, semua, tiap-tiap dan sebagainya.
(4) Kata bilangan kumpulan: kedua, kesepuluh, dan sebagainya.
Penggunaan kata bilangan sebagai berikut:
(1) Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan
lazim digunakan angka arab atau angka romawi.
a. Angka digunakan untuk menyatakan:
b. Ukuran panjang, berat, luas, dan isi,
c. Satuan waktu,
d. Nilai uang, dan
e. Kauntitas.
Bab 3 Kata 19
(2) Angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau
kamar pada alamat.
Misalnya:
Jalan tanah abang I No. 15 Hotel Indonesia, Kamar 169
(3) Angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.
Misalnya:
Bab X, Pasal 5, halaman 252, Surah Yasin: 9
(4) Penulisan lambang bilangan yang dengan huruf dilakukan sebagai berikut.
Bilangan utuh: dua ratus dua puluh dua (222)
Bilangan pecahan: seperdelapan (1/8), dua per lima (2/5)
(5) Penulisan lambang bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara yang berikut.
Misalnya:
Paku buwono X; dalam kehidupan pada abad ke-20 ini; lihat bab//, Pasal 5; dalam bab
ke-2 buku itu; di tingkat kedua gedung itu; di tingkat ke-2 itu; kantor di tingkat//.
(6) Penulisan lambang bilangan yang mendapat akhiran –an mengikuti cara yang
berikut. (lihat juga keterangan tentang tanda hubung, Bab V, Pasal E, ayat 5).
(7) Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan
huruf kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti
dalam perincian dan pemaparan.
Misalnya:
Amir menonton drama itu sampai tiga kali.
Ayah memesan tiga ratus ekor ayam.
(8) Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu, susunan
kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau
dua kata tidak terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Lima belas orang tewas dalam kecelakaan itu.
Pak Darmo mengundang 250 orang tamu.
Bukan:
15 orang tewas dalam kecelakaan itu.
Dua ratus lima puluh orang tamu diundang Pak Darmo.
(9) Angka yang menunjukkan bilangan utuh yang besar dapat dieja sebagian supaya
lebih mudah dibaca.
Misalnya:
Perusahaan itu baru saja mendapat pinjaman 250 juta rupiah.
Penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 120 juta orang.
(10) Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks kecuali
di dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi.
20 Bahasa Indonesia
Misalnya:
Kantor kami mempunyai dua puluh orang pegawai.
Bukan
Kantor kami mempunyai 20 (dua puluh) orang pegawai.
(11) Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat.
Misalnya:
Saya lampirkan tanda terima uang sebesar Rp.999,75 (Sembilan ratus Sembilan puluh
Sembilan dan tujuh puluh lima perseratus rupiah).
Kata bantu bilangan dalam menyebut berapa jumlahnya suatu barang, dalam
bahasa Indonesia tidak saja dipakai kata bilangan, tetapi selalu dipakai suatu kata yang
menerangkan sifat atau macam barang itu. kata-kata semacam itu disebut kata bantu
bilangan.
6. Adverbia
Adverbia adalah kelas kata yang memberikan keterangan kepada kata lain, seperti verba
(kata kerja) dan adjektiva (kata sifat), yang bukan nomina (kata benda). Dalam bahasa
Indonesia dapat dikelompokkan menurut:
(1) Segi bentuk
Menurut segi bentuk, adverbia terbagi menjadi 2, yaitu:
• Tunggal, adverbia tunggal terbagi 2, yaitu:
Kata dasar: baik sekali anak itu.
Kata berafiks: sebaiknya dompet itu dikembalikan kepada pemiliknya.
• Gabungan, adverbia gabungan terbagi 2, yaitu:
Adverbia berdampingan. Contoh: Lagi pula buku itu baru sampai besok.
Adverbia tidak berdampingan. Contoh: Dosen mengajar di kelas kami sangat cantik
sekali.
(2) Segi perilaku sintaksis
Menurut segi perilaku sintaksis, adverbia terbagi menjadi 4, yaitu:
• Adverbia yang mendahukui kata yang diterangkan:
Buah mangga itu lebih besar daripada buah apel.
Pemandangan di daerah pegunungan ini sangat indah
• Adverbia yang mengikuti kata yang diterangkan:
Rumah anak itu jauh sekali.
Dia hanya diam saja saat kecelakaan itu terjadi.
• Adverbia yang mendahului atau mengikuti kata yang diterangkan:
Mahal amat harga barang-barang itu.
Gula ini harganya amat mahal dari yang lain.
Bab 3 Kata 21
• Adverbia yang mendahului dan mengikuti kata yang diterangkan:
Saya yakin bukan dia saja yang pandai.
Bagiku, senyumannya sangat manis sekali.
(3) Segi perilaku semantik
Menurut segi perilaku semantik, adverbia terbagi menjadi 8, yaitu:
a. Adverbia kualitatif. Menggambarkan makna yang berhubungan dengan tingkat
derajat, atau mutu. Contoh: paling, sangat, lebih, dan kurang.
b. Adverbia kuantitatif. Menggambarkan makna yang berhubungan dengan
jumlah. Contoh: banyak, sedikit, kira-kira, dan cukup.
c. Adverbia limitatif. Menggambarkan makna yang berhubungan dengan
pembatasan. Contoh: hanya, saja, dan sekadar.
d. Adverbia frekuentatif. Menggambarkan makna yang berhubungan dengan
tingkat kekerapan terjadinya sesuatu yang diterangkan adverbial itu. Contoh:
selalu, sering, jarang, kadang-kadang.
e. Adverbia kewaktuan. Menggambarkan makna yang berhubungan dengan saat
terjadinya peristiwa yang diterangkan oleh adverbial itu. Contoh: baru dan
segera.
f. Adverbia kecaraan. Menggambarkan makna yang berhubungan dengan
bagaimana peristiwa yang diterangkan oleh adverbia itu berlangsung atau
terjadi. Contoh: diam-diam, secepatnya, pelan-pelan.
g. Adverbia kontrastif. Menggambarkan perentangan dangan makna kata atau
hal yang dinyatakan sebelumnya. Contoh: bahkan, malahan, dan justru.
h. Adverbia keniscayaan. Menggambarkan makna yang berhubungan dengan
kepastian tentang keberlangsungan atau terjadinya hal atau peristiwa yang
dijelaskan adverbia itu. Contoh: niscaya, pasti, dan tentu.
7. Introgativa
Introgativa adalah kategori dalam kalimat introgatif yang berfungsi menggantikan
sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan apa yang telah diketahui
pembicara.
Apa yang ingin diketahui dan apa yang dikukuhkan itu disebut antesenden (ada di
luar wacana) dan arena baru akan diketahui kemudian, introgativa bersifat kataforis.
1) Introgativa dasar: apa, bila, bukan, kapan, mana, masa.
2) Introgativa turunan: apabila, apan, apa-apaan, bagaimana, bagaimanakah, berapa,
betapa, bilamana, bilakah, bukankah, dengan apa, di mana, ke mana, manakah, kenapa,
mengapa, ngapain, siapa, yang mana, masakan.
3) Intrigativa terikat: kah dan tah.
22 Bahasa Indonesia
Jenis dan Pemakaian Introgativa
a. Apa, digunakan untuk: 1) menanyakan nomina bukan manusia, misal: Apa yang
menyebabkan kau tidak menerimaku?, Apa yang dapat kulakukan untukmu. 2)
menanyakan proposisi yang jawabannya mungkin berlawanan, misal: Apa email
ku sudah kau baca? (Jawaban bisa sudah atau belum). 3) mengukuhkan apa yang
telah diketahui pembicara, misal: Apa benar seperti itu? 4) dalam kalimat retoris,
misal: Apa pantas seorang anak pejabat mencuri?
b. Bila,digunakan untuk menanyakan waktu, misal: Bila kekasihku datang?
c. Kah, digunakan untuk: 1) mengukuhkan bagian kalimat yang diikuti oleh kah, misal:
Mungkinkah kau jadi milkik ku? 2) menanyakan pilihan di antara bagian-bagian
kalimat yang didahului oleh kah, misal: Berlari atau berenangkah temanmu itu? 3)
dalam ragam standar yang sangat resmi digunakan untuk melengkapi introgativa
apa, mana, bagaimana, beberapa, di mana, mengapa, siapa, misal: siapakah yang
akan menjadi teman hidupku?
d. Kapan, digunakan untuk menanyakan waktu, misal: Kapan kau akan menikahiku?
e. Mana, digunakan untuk: 1) menanyakan salah seorang atau salah satu benda atau
hal dari suatu kelompok atau kumpulan, misal: Wanita mana yang akan kau pilih?
2) menanyakan pilihan, misal: Dia atau diriku?
f. Tah, digunakan dalam bahasa arkais untuk betanya kepada diri sendiri, misal:
Apatah dayaku dengan ketidaksempurnaanku?
g. Apabila, digunakan dalam bahasa yang agak arkais untuk menanyakan waktu, misal:
Apabila dia melamarku?
h. Apakala, digunakan dalam bahasa yang arkais untuk waktu, sama dengan apabila.
i. Apaan,digunakan dalam ragam non-standar seperti halnya dengan apa; kadangkadang dengan nada yang meremehkan, misal: Makanan apaan itu?
j. Apa-apaan, digunakan dalam ragam non-standar untuk menanyakan tindakan, tanpa
mengharap jawaban, misal: Apa-apaan kau ini?
k. Bagaimana,digunakan untuk: 1) menanyakan cara perbuatan, misal: Bagaimana
caranya kau meyakinkanku? 2) menanyakan akibat suatu tindakan, misal:
Bagaimana kalau dia tidak datang? 3) meminta kesempatan dari lawan bicara
(diikuti kata kalau, misal: Bagaimana kalau bulan madu kita ke Bali? 4) menanyakan
kualifikasi atau evaluasi atau suatu gagasan, misal: Bagaimana menurutmu?
l. Berapa, digunakan untuk menanyakan bilangan yang mewakili jumlah, ukuran,
takaran, nilai, harga, satuan, waktu, misal: Berapa harga beras per kilo?, Berapa
orang yang hadir dalam acara ini?, Berapa panjang jembatan yang baru di bangun
itu?
m. Betapa, digunakan dalam bahasa yang arkais, seperti halnya bagaimana, misal:
Betapa bicaramu?
n. Bilamana, digunakan dalam ragam sastra untuk menanyakan waktu, misal:
Bilamana Indonesia merdeka?
Bab 3 Kata 23
o. Bukan, digunakan sesudah suatu pertanyaan untuk mengukuhkan proposisi dalam
pernyataan itu, misal: Engkau jadi pergi, bukan?
p. Bukankah, digunakan dalam awal kalimat untuk mengukuhkan proposisi, misal:
Bukankah engaku seorang dosen?
q. Di mana, digunakan untuk menerangkan tempat, misal: Di mana rumah barumu?
r. Kenapa, digunakan untuk: 1) dalam ragam non-standar untuk menanyakan sebab
atau alasan (sama dengan mengapa), misal: Kenapa ia rela melakukan itu padaku?
2) dalam ragam non-standar untuk menanyakan keadaan, misalnya: Kenapa
rambutmu?
s. Mengapa, digunakan untuk menanyakan sebab, alasan, atau perbuatan, misal:
Mengapa hari ini kamu terlihat aneh?
t. Ngapain, digunakan dalam bahasa non-standar untuk menanyakan sebab atau
alasan, misal: Ngapain kamu di sini?
u. Siapa, digunakan untuk: 1) menanyakan nomina, insane, misal: Siapa nama dosen
berbaju ungu itu? 2) menanyakan nama orang, misal: Siapa nama ayah dan ibumu?
v. Yang mana, digunakan untuk menanyakan pilihan, misal: Yang mana hendak
engkau pilih?
w. Masakan/masa, digunakan untuk menyatakan ketidakpercayaan dan sifatnya retoris,
misal: Katanya dia sudah pergi. Masa?
8. Demonstrativa
Kata tunjuk adalah kata yang dipakai untuk menunjuk atau menandai orang atau benda
secara khusus. Kata tunjuk dapat dibedakan atas:
1. Kata tunjuk dasar. Contoh: itu, ini
2. Kata tunjuk turunan. Contoh: berikut, sekian, sedemikian, sebegitu
3. Kata tunjuk gabungan. Contoh: di sana, di situ, di sini
9. Artikula
Artikula (Kata Sandang) adalah kata yang menentukan atau membatasi kata benda.
Kata sandang umumnya terletak di depan (sebelum) kata benda. Kata sandang berupa
partikel, jadi tidak dapat berafiksasi (diberi imbuhan).
Macam-macam Kata Sandang
a. Hang: dipakai untuk menerangkan nama pria dalam sastra lama. Contoh: Hang
Tuah, Hang Dali.
b. Dang: dipakai untuk menerangkan nama wanita dalam sastra lama. Contoh: Dang
Masti.
c. Si: dipakai untuk menyatakan ejekan, keakraban, atau personifikasi. Contoh: si
giman, si berat, si manis, si putih.
24 Bahasa Indonesia
d. Sang: dipakai untuk meninggikan harkat atau menghormati nama atau benda.
Contoh: Sang Merah Putih, sang suami, sang juara.
e. Umat: digunkan untuk mengkhususkan kelompok yang memiliki latar belakang
agama yang sama. Contoh: umat Katolik, umat Muslim.
f. Para: digunakan untuk mengkhususkan kelompok pada umumnya. Contoh: para
murid, para guru.
g. Sri: dipakai untuk mengkhususkan orang yang sangat dihormati. Contoh: Sri
Baginda, Sri Paus, Sri Ratu.
h. Kaum: dipakai untuk mengkhususkan kelompok yang memiliki kesamaan ideologi.
Contoh: kaum buruh, kaum wanita.
10. Preposisi
Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori lain (terutama nomina) sehingga
terbentuk frasa eksosentris direktif. Ada dua jenis preposisi, yaitu sebagai berikut:
1) Preposisi Tunggal
Preposisi tunggal adalah preposisi yang hanya terdiri atas satu kata, bentuk preposisi
tunggal tersebut dapat berupa (1) kata dasar, misalnya di, ke, dari, dan pada, dan
(2) kata berafiks, seperti selamanya, mengenai, dan sepanjang. (Moeliono, 1998:
294).
a) Preposisi yang berupa kata dasar
Preposisi dalam kelompok ini hanya terdiri atas satu morfem. Berikut adalah
contohnya:
Akan: Takut akan kegelapan
Antara: Antara anak dan ibu
b) Preposisi yang berupa kata berafiks
Preposisi dalam kelompok ini dibentuk dengan menambahkan afiks pada
bentuk dasar termasuk kelas kata verba, adjektiva, atau nomina. Afiksasi dalam
pembentukan itu dapat berbentuk penambahan prefiks, sufiks, atau gabungan
kedua-duanya.
c) Preposisi yang berupa kata berprefiks:
1. Bersama: pergi bersama kakak.
2. Beserta: ayah beserta ibu.
3. Menjelang: pergi menjelang malam.
d) Preposisi yang berupa kata bersufiks:
Bagaikan: cantik bagaikan bidadari.
e) Preposisi yang berupa kata berprefiks dan bersufiks:
1. Melalui: dikirim melalui pos.
2. Mengenai: berceramah mengenai kenakalan remaja.
Bab 3 Kata 25
2) Preposisi Gabungan
Preposisi gabungan terdiri atas (1) dua preposisi yang berdampingan dan (2) dua
preposisi yang berkolerasi.
a) Preposisi yang berdampingan
Preposisi yang pertama terdiri atas dua preposisi yang letaknya berurutan.
Berikut adalah contoh preposisi yang berdampingan.
1. Daripada: menara ini lebih tinggi daripada pohon itu.
2. Kepada: buku itu diberikan kepada adik.
3. Oleh karena: ia tidak masuk oleh karena penyakitnya.
4. Oleh sebab: tanaman itu mati oleh sebab kekeringan.
Perlu diperhatikan pemakaian preposisi daripada yang sering disalahgunakan
orang. Kata daripada dipakai hanya untuk menyatakan perbandingan dan
bukan untuk menyatakan milik, menyatakan asal, atau menghubungkan verba
dengan unsur yang mengikutinya.
b) Preposisi yang berkolerasi
Preposisi gabungan jenis kedua terdiri atas dua unsur yang dipakai berpasangan,
tetapi terpisah oleh kata atau frasa lain. Contoh:
1. Antara dia dan adiknya ada perbedaan yang mencolok.
2. Kami membanting tulang dari pagi hingga petang.
3. Seminar itu diadakan dari hari senin sampai dengan kamis minggu depan.
c) Preposisi dan Nomina Lokatif
Suatu preposisi juga dapat bergabung dua nomina asalkan nomina yang
pertama mempunyai ciri lokatif. Dengan demikian, kita temukan frasa
preposisional, seperti di atas meja, ke dalam rumah, dan dari sekitar kampus.
Struktur frasa preposisional di atas tampak bahwa atas, dalam, dan sekitar
merupakan bagian dari frasa nominal atas meja, dalam rumah, dan sekitar kampus
dan bukan frasa gabungan di atas, ke dalam, dan dari sekitar.
11. Konjungsi
Konjungsi adalah suatu kata tugas atau kata penghubung yang berfungsi untuk
menghubungkan dua buah klausa, kalimat, paragrap atau lebih. Dalam bahasa Indonesia
ada beberapa macam konjungsi yang dapat ditemukan, antara lain: Konjungsi antar
klausa, antar kalimat, dan konjungsi antar paragrap. Berdasarkan fungsinya konjungsi
dikelompokan ke dalam tiga bentuk, diantaranya adalah:
Konjungsi antar Klausa
Konjungsi antar klausa adalah kata hubung yang menghubungkan dua buah klausa
atau lebih. Ada tiga macam konjungsi antara klausa, yaitu, korelatif, subordinatif, dan
koordinatif.
26 Bahasa Indonesia
a) Konjungsi korelatif. Konjuungsi ini menghubungkan dua buah klausa yang
memiliki hubungan sintaksis setara.
Macam-macam konjungsi korelatif.
baik ... maupun ...
tidak hanya ..., tetapi (...) juga ...
bukan hanya ..., melainkan ...
(se)demikian (rupa) ... sehingga ...
apa(kah) ... atau ...
entah ... entah ...
jangankan ..., ... pun ... .
Contoh:
Baik Riski maupun Nasar keduanya adalah anak yang baik.
Budi bukan hanya pelukis yang handal, tetapi juga sebagai seniman yang cerdas.
Jangankan uang segudang, sepeser pun aku tak punya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa entah pergi saja entah datang menemuinya.
Dia menghias bunga itu sedemikian rupa sehingga terlihat sangat indah.
b) Konjungsi subordinatif. Konjungsi ini menghubungkan dua buah klausa yang
memiliki hubungan sintaksis yang tidak sama (bertingkat).
Macam-macam konjungsi subordinatif:
.. ..sebelum...
jika... ., maka... .
...agar... .
Meskipun/bagaimanapun... .. , ... ..
dan lain-lain.
Contoh:
Ani telah pergi ke Jakarta sebelum Budi datang menyusulnya.
Meskipun dia miskin, dia sangat dermawan kepada setiap orang.
Saya giat belajar agar tidak menjadi anak yang malas.
Jika aku memiliki banyak uang, aku akan pergi ke luar negeri.
Meskipun dia sangat nakal, bagaimanapun juga orang tuanya tetap menyayanginya.
c) Konjungsi koordinatif. Konjungsi ini sama seperti korelatif yaitu menghubungkan
dua buah klausa yang sejajar, tetapi konjungsi ini hanya terjadi pada klausa-klausa
yang sederhana.
Macam-macam konjungsi koordinatif
... . dan ...
... tetapi ...
... atau ...
Bab 3 Kata 27
Contoh:
Andi membeli buku dan baju di toko itu.
Aku ingin pergi tetapi tidak diijinkan oleh ayahku.
Kau boleh datang bersamaku tau bersama Indri.
12. Kategori Fatis
Fatis adalah kelas kata yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan
komunikasi antara pembicara dan pendengar dan biasanya terdapat dalam konteks
dialog. Konsep phatic communion diperkenalkan pada awal abad ke-20 oleh Bronislaw
Malionowski, seorang antropolog Polandia, dan diambil dari bahasa Yunani phanein
(muncul). Dalam bahasa Indonesia, kelas kata fatis diusulkan oleh Hrimurti Kridalaksana
(2008). Menurutnya, bentuk fatis biasanya terdapat dalam bahasa lisan yang umumnya
merupakan ragam non-standar. Bentuk fatis dapat terdapat di awal, tengah, maupun di
akhir kalimat. Contoh bentuk fatis dalam bahasa Indonesia adalah kok, deh, dan selamat.
Bentuk ini tidak dapat dimasukkan ke dalam kelas kata interjeksi karena interjeksi
bersifat emotif sedangkan fatis bersifat komunikatif.
13. Interjeksi
Pengertian interjeksi merupakan kata seru yang mengungkapkan isi hati dari si
pembicara. Kebanyakan orang, untuk mengungkapkan isi hati seperti rasa kagum, jijik,
heran, atau takut, mereka (dan juga kita) menggunakan berbagai kata seperti wow, ih,
oh, dan sebagainya. Nah kata-kata seperti itulah yang dimaksud dengan interjeksi. Untuk
mendapatkan contoh-contoh interjeksi dalam kalimat, silahkan membaca penjelasan di
bawah ini:
1. Mengungkapkan Rasa Jijik
Bah, cih, cis, ih, idih
Contoh:
a. Ih, jorok sekali perilakumu.
b. Idih, mengapa cium tanganmu yang bau itu!
c. Cih, dasar dia tidak tau malu!
2. Mengugkapkan Rasa Kesal dan Kecewa
Sialan, keparat, celaka.
Contoh:
a. Sialan, saya baru saja datang, eh dia malah pergi.
b. Mana pencuri itu?! Dasar keparat!
c. Celaka, aku tidak membawa HP.
28 Bahasa Indonesia
3. Mengungkapkan Kekaguman
Amboi, wah, wow, duh.
Contoh:
a. Duh lezatnya makanan ini.
b. Aduhai cantiknya wanita yang duduk di sana itu.
c. Wah, indah sekali pemandangan di pantai Terbaya
4. Mengungkapkan Rasa Syukur
Alhamdulillah, untung, syukurlah.
Contoh:
a. Alhamdulillah, Allah telah memberikan banyak rezeki kepada kita hari ini.
b. Untung, sewaktu saya kecelakaan, banyak orang yang menolong.
c. Syukurlah kau tidak terluka.
5. Mengungkapkan Harapan
Insya Allah, mudah-mudahan, semoga.
Contoh:
a. Insya Allah apa yang saya minta akan tercapai.
b. Mudah-mudahan ayah saya baik-baik saja di perjalanan.
c. Semoga doa yang telah kamu panjatkan bisa tercapai.
6. Mengungkapkan Rasa Heran
Aih, ai, lho, duilah, eh, oh, ah.
Contoh:
a. Aih, kurus sekali tubuhmu. Apakah kamu tidak makan daging atau nasi?
b. Ai, bodoh sekali orang itu.
c. Lho, kenapa dia tidak berkunjung ke rumahku?
7. Mengungkapkan Rasa Kaget
Astaga, astagfirullah, masyaallah, masa, alamak, gila (gile).
Contoh:
a. Astaga, dia belum pulang? Kemana saja dia!
b. Gila, hebat sekali orang ini. Aku tidak pernah menyangka dia bisa
melakukannya.
c. Masya Allah, besarnya mobil Andi.
8. Mengungkapkan Ajakan
Ayo, yuk, mari.
Bab 3 Kata 29
Contoh:
a. Ayo, kita pergi berkemah.
b. Yuk, makan nasi goring bersama-sama.
c. Mari, dicoba ini masakan saya sendiri lho.
9. Mengungkapkan Sapaan atau Ekspresi Memanggil
Hai, hei, eh, halo (alo).
Contoh:
a. Hai, apa kabarmu? Di mana kamu tinggal sekarang?
b. Halo, siapa ini?
c. Hei, kerja di mana kamu sekarang?
10. Mengungkapkan Rasa Marah
Bodoh, tolol, sontoloyo.
Contoh:
a. Begini saja tidak bisa, bodoh!
b. Dasar tolol, sini biar aku saja yang melakukannya.
c. Sontoloyo, jadi selama ini kamu hanya tidur?
14. Partikel
Partikel sebenarnya bermakna ‘unsur-unsur kecil dari satu benda’. Analog dengan makna
tersebut, unsur kecil dalam bahasa, kecuali yang jelas satuan bentuknya, disebut partikel.
Dalam kaitan dengan kata tugas, partikel yang dibicarakan di sini adalah partikel yang
berperan membentuk kalimat tanya (interogatif), yaitu -kah dan -tah ditambah dengan
-lah yang dipakai dalam kalimat perintah (imperatif) dan kalimat pernyataan (deklaratif),
serta pun hanya dipakai dalah kalimat pernyataan.
Contoh:
-kah
Apakah Bapak Ahmad sudah pulang?
Bagaimanakah rasanya naik pesawat ruang angkasa?
Ke manakah akan kucari pengganti dirimu?
-lah
Apalah dayaku tanpa bantuanmu.
Kalau engkau mau, ambillah apel itu satu!
Pergilah segera, sebelum jalan macet!
30 Bahasa Indonesia
-tah
Siapatah gerakan jodohku nanti?
Apatah artinya hifupku tanpa engkau
Pun
Apa pun yang terjadi, saya harus pergi.
Karena dosen berhalangan, kuliah pun dibatalkan.
Hendak makan pun lauknya tidak ada.
Notasi Ilmia
Instruksi harus diberikan kepada komputer agar dapat memecahkan suatu masalah. Langkah-langkah yang dilakukan untuk memberikan instruksi kepada komputer untuk memecahkan masalah inilah yang dinamakan pemrograman komputer. Pemrograman komputer bukanlah hal yang sederhana. Kegiatan ini memerlukan ketelitian dan kemauan untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama. 1. Pemrograman komputer Dalam komunikasi sehari-hari seorang harus berbicara dalam bahasa yang sama dengan orang tersebut. Hal ini berlaku juga untuk berkomunikasi dengan komputer. Kita harus menggunakan bahasa yang dimengerti oleh komputer untuk memberikan suatu instruksi. Pada dasarnya komputer adalah sebuah mesin digital, artinya komputer hanya mengenal kondisi adanya arus (dilambangkan sebagai angka 1) atau tiadanya arus (dilambangkan sebagai angka 0). Dengan kata lain sandi 1 dan 0 harus digunakan untuk melakukan pemrograman. Sandi tersebut dikenal sebagai bahasa mesin...
Komentar
Posting Komentar